Seuramoe Rinyeun

Kamis, 12 September 2013

Kisah Tentang Pentingnya Proteksi Diri Perempuan dan Kegagalan Kaum Lelaki. (anak remaja "wajib" baca)

11 September 2013 pukul 22:55
## Tulisan ini seluruhnya adalah karya Muda Bentara dan saya copy dari status fb beliau, selamat membacanya : 

Rabu kemarin (15/1/2012) adalah hari pertama perkuliahan MKU (Mata Kuliah Umum) Agama Islam yang saya ambil semester ini. Kemarin, di perkuliahan perdana itu, sang dosen yang berumur 30-an tahun itu tak memberikan materi perkuliahan. Pertemuan perdana kemarin hanya berupa perkenalan diri antara beliau dan kami, penjelasan perihal kenapa penting diadakannya mata kuliah Agama Islam dan pemilihan komting/ketua kelas untuk mata kuliah tersebut.
 

Bagi saya, ada satu hal yang menarik dari pertemuan kemarin, yaitu perihal cerita pengalaman pribadi yang baliau ceritakan kepada kami, yang kemarin berjumlah 40-an orang.
 

Saya akan berusaha untuk mensarikan cerita beliau tersebut. Lebih kurang begini ceritanya;
 

Pada akhir tahun 1990-an, sang dosen saya itu memiliki satu usaha bisnis, yaitu usaha Wartel (warung telekomunikasi). Suatu malam, kebetulan ia yang memiliki giliran untuk menjadi kasir di wartel-nya tersebut. Malam itu, ia bukan satu-satunya manusia yang ada di wartel itu, ada seorang polisi yang ditugaskan untuk menjaga wartel (hal yang lumrah pada masa konflik dimana banyak tempat usaha yang keamanannya dijaga penuh oleh pihak kepolisian).
 

Malam itu, saat kondisi wartel sedang sepi, datanglah sepasang suami istri ke wartel tersebut, dan mereka memilih untuk memasuki salah satu room yang ada di wartel. Ketika pasangan itu masuk ke wartel, polisi yang menjaga keamanan wartel itu tersenyum kepada pasangan tersebut dan hal itu juga ia lakukan berulang kali ketika pasangan itu keluar dari room dan membayar biaya telepon ke kasir yang dijaga oleh dosen saya.
 

Saat sang suami membayar biaya pemakaian telepon, sang istri lebih dulu keluar dari ruangan wartel. Sang polisi tetap melanjutkan senyumannya kepada istri sang lelaki yang sedang membayar biaya pemakaian telapon di kasir.
 

Ketika sang lelaki selesai membayar dan hendak kaluar, polisi itu berbicara kepada sang lelaki, "Sudah sejak kapan kamu menikah dengan dia?" tanya polisi itu kepada sang lelaki. Lelaki itu hanya diam, sambil terheran-heran dengan pertanyaan itu. Karena melihat sang lelaki itu tak menjawab, maka polisi itu bertanya lagi, "Masih ada gak bekas luka di pinggul kanannya?", Sang lelaki itu semakin terheran-heran dan dengan mimik wajah yang seakan marah, ia segera kaluar dari wartel itu.
 

Setelah lelaki itu keluar, dosen saya yang menjaga kasir wartel itu bertanya ke sang polisi, "Kenapa pertanyaannya begitu bang?", lalu polisi itu menjawab, "Istrinya itu dulu pacar aku, kami lama pacaran, jadi aku banyak tahu tentang dia, kami telah melakukan banyak hal....".
 

***
 

Itu adalah hal yang diceritakan oleh dosen saya kemarin yang masih sempat saya ingat.
 

Di akhir cerita, beliau dengan nada seolah bertanya, mengatakan sesuatu kepada kami. "Coba kalian bayangkan apa yang terjadi pada keluarga itu setelah kejadian itu, apakah keluarga itu akan harmonis? Akan bahagia? Kalaupun bahagia, pasti ada sesuatu yang mengganjal di hati sang suaminya".
 

Beliau lalu mencoba menyimpulkan pelajaran yang bisa dipetik dari cerita itu, yaitu mengenai betapa pentingnya seseorang untuk menjaga dirinya, dan betapa tak baiknya keberadaan hubungan diluar pernikahan. Hubungan di luar pernikahan hanya akan membawa kemudharatan dan bisa jadi akan berujung pada murka Tuhan.
 

Kini banyak orang yang ketika menjalin hubungan asmara telah memberikan semua hal yang ia punya kepada kekasihnya, tanpa memikirkan bagaimana seharusnya hal itu nanti mestinya diberikan kepada seseorang yang benar-benar telah sah dan layak untuk memilikinya, yaitu pasangannya baik istri ataupun suaminya.
 

***
 

Bagi saya, apa yang disampaikan oleh dosen saya itu benar. Kini banyak orang yang tak memedulikan kualitas "sebenarnya". Orang-orang terlalu sembarangan dalam menghargai diri.
 

Saya sering menemukan perilaku seperti yang dilakukan oleh polisi penjaga wartel dosen saya itu. Saya pernah mendengar beberapa pengakuan lelaki yang tanpa malu menceritakan perihal ia yang telah melakukan banyak hal dengan pacar atau dengan mantan-mantan kekasihnya. Dan bagi mereka itu adalah sebuah hal yang membanggakan dan bukan sesuatu nan memalukan.
 

Ketika bercerita pengalaman tak baiknya itu, si lelaki dengan penuh semangat menceritakannyasecara detail, dengan penuh kebanggaan. Bagi ia, ketika hal itu terjadi, maka yang untung adalah lelaki dan yang rugi adalah perempuan.
 

Hal ini jika dilihat, tak lepas juga dari budaya patriarkhi yang kita anut, dimana kuasa dalam relasi jenis kelamin antara pihak laki-laki dan perempuan ada di tangan kaum lelaki. Tafsir akan sesuatu hal ditentukan oleh lelaki. Sayangnya, ini juga berlangsung dalam perbuatan yang tak baik, semisal dalam melakukan hubungan yang tidak sah diluar ikatan pernikahan.

Para lelaki yang menjadi pelaku itu tak pernah berfikir tentang keberadaan "keperjakaan" mereka. Bagi mereka, keperjakaan hanyalah sebuah nama, sebuah sebutan, hanya esensi yang tak memiliki bentuk. Sedangkan keperawanan terhadap perempuan, itu tak hanya esensi, tapi memiliki perwakilan bentuk. Keperawanan berbicara tentang hilang atau tidak hilangnya suatu bagian dari organ reproduksi, sedangkan keperjakaan bagi mereka tak berpengaruh terhadap kondisi fisik apapun.
 

Hal seperti inilah yang melatari timbulnya keberanian beberapa lelaki yang dengan tanpa malu mengakui kekeliruan yang mereka lakukan, contohnya ya semisal polisi penjaga wartel itu.
 

Mereka-mereka ini telah gagal dalam menerjemahkan pemahaman akan sebuah "noda", budaya patriarchie yang mereka adopsi hanya melimpahkan rasa "ternoda" itu kepada perempuan yang dalam budaya ini selalu menjadi bagian yang lebih lemah, menjadi subordinat.
 

Hal ini pada akhirnya menjadikan mereka berperilaku superior dengan melimpahkan semua perasaan bersalah kepada sang perempuan. Perempuan dianggap inferior.
 

Kenyataannya, dalam terminologi budaya berbasis etik apapun, ketika seseorang melakukan hubungan yang diluar aturan, yang menjadi objek kerugian adalah kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan.
 

Ketika hal seperti ini semakin tumbuh dan berkembang dalam pikiran kaum lelaki, maka yang paling disayangkan adalah kaum perempuan. Dalam kenyatannya, perempuan akibat dari inferioritas yang diciptakan oleh budaya, tak memiliki pola pikir seperti lelaki yang ketika melakukan sesuatu hal yang tak benar, maka mereka akan menceritakan hal itu dengan penuh kebanggaan kepada teman sebayanya atau lawan jenisnya.
 

Perempuan amat tahu jika idenstifikasi fisik semisal "keperawanan" adalah hal mutlak yang harus ada dalam budaya timur. Dalam budaya timur, perempuan adalah sesuatu hal yang disucikan, digambarkan dengan simbol kelembutan dan keindahan.
 

Perasaan malu yang dimiliki oleh kaum perempuan adalah sesuatu hal yang mampu membuat mereka tetap bertahan untuk tidak menganggap sesuatu yang salah sebagai bentuk dari kebanggaan diri, tak seperti yang terjadi pada kaum lelaki.
 

Tapi, pada akhirnya rasa malu itu tak cukup. Kehati-hatian dan rasa penghargaan diri yang tinggilah yang paling penting untuk diperkuat dalam diri kaum perempuan. Kaum perempuan harus berpikir jauh kedepan dengan mengutamakan rasionalitas dimana setiap hal yang mereka lakukan saat ini adalah sesuatu hal yang menentukan baik buruknya kualitas kehidupan mereka di masa mendatang.
 

Kaum perempuan harus merumuskan ulang standart yang ada dalam diri mereka perihal relasi antar jenis kelamin yang berbeda. Peningkatan kapasitas diri, standar yang baik pada akhirnya dapat menjauhkan kaum perempuan dari kugkungan superioritas yang dimiliki oleh banyak laki-laki yang gagal dalam menerjemahkan keberadaan dirinya.
 

Kualitas dari perempuan pada akhirnya menentukan kualitas penghormatan bagi dirinya. Sembarangan dalam hal ini bisa berujung pada pelecehan akan eksistensi perempuan. Hal ini seperti yang terjadi pada kasus polisi yang dengan bangga bercerita tentang mantan pacarnya yang walaupun sudah menjadi istri orang lain.
 

Perihal seperti apa yang dilakukan oleh sang polisi itu bisa mengenai siapa saja, termasuk pada masa ini. Maka, semakin perempuan menghargai dirinya sedini mungkin, dengan cara yang diatur oleh norma kesusilaan ataupun aturan agama, maka semakin jauh dan semakin berkurang pula hal-hal seperti ini akan terulang lagi.
 

Penyakit sebagian kaum lelaki adalah tentang klaim. Mereka tak malu-malu mengklaim perihal ini itu. Klaim akan sesuatu bagi lelaki adalah wujud dari eksistensi keberadaan mereka. Jangan sampai nanti ketika anda sedang jalan berduaan dengan suami anda, ada beberapa orang yang mengaku kepada orang lain jika dulu anda adalah mantan pacarnya dan dulu anda pernah "apa-apa" dengannya.
 

Semakin banyak anda menjalin hubungan relasi percintaan sebelum pernikahan, maka semakin besar pula kemungkinan datangnya kehadiran bahwa eksistensi tubuh anda akan di klaim oleh banyak orang, termasuk lelaki yang mungkin hanya sekali sempat menyentuh jari manis anda.
 

Anda adalah tentang seberapa anda menghargai diri anda.